Kamis, 13 Desember 2012

Bagaimanakah Proses “ Kelahiran “ Ilmu Nahwu Ke Muka Bumi ??


Oleh Misbahuddin Al-afghanie 

           lmu nahwu (gramatika bahasa Arab) merupakan bagian dari uslub tata bahasa arab yang begitu menarik dan unik, maka sejak awal perkembangannya sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis , Ilum nahwu adalah salah satu “jurus “ untuk  memahami dan membedah keagungan dan kemukzijatan Al-Qur’an dan as-sunnah dari perfectif tata bahasa.

            Tentunya mempelajri islam langsung dari sumber aslinya seperti tafsir ulama dan syarah kitab hadits ataupun yang lainnya pasti akan lebih nikmat dan terasa “ nilai “ keindahan dan keagungan tata bahasa arab itu sendiri. berbeda halnya dengan mepelajari islam dari buku-buku terjemahan. buku-buku terjemahan  mejadikan nilai keindahan dan kenikmatan tata bahasa arab menjadi hilang. tidak percaya ?? buktikan !!. belajar dulu KDNS Pusdiklat dewan dakwah baru akan tersadar!. ^_^

            Jika kita membedah historis, Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az-Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan ulama. Di Indonesia, tokoh-tokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus, K.H. Bisri Musthafa, dan K.H Aceng zakaria  juga mempunyai penguasaan nahwu yang mendalam dan dijadikan rujukan untuk umat islam indoensia untuk “ berselancar “ mempelajari uslub bahasa arab. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih, Al-Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, dan Imam Sibawah lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu Nahwu.

Madhab-Madhab Dalam Ilmu Nahwu
            Tidak hanya dalam masalah furu’iyah ( fiqih ) para ulama berbeda pendapat. lahirmya imam madhab merupakan sebuah dilalah bahwa mereka memilki pendapat yang berbeda satu sama lain.  dan perbedaan pendapat ini terjadi juga dalam ilmu nahwu.  Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut. (1) aliran Bashrah, (2) aliran Kufah, (3) aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5) aliran Mesir. Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lainya hanya merupakan “ Inovasi “ dan “ kreasi “ yang dikembangkan dari 2 madhab sebelumnya.

Kronologis Kelahiran Ilmu Nahwu Ke Muka Bumi

            Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5).
            faktor agama disini adalah usaha untuk menjaga kemurnian agama islam, Al-Qur’an dan as-sunnah dari kesalahan didalam membaca. yang mashur dengan istilah Lahn.  lahn adalah kesalahan dalam membaca. lahn ini sudah terjadi sejak jaman Rasulullah. tetapi prekuensinya tidak terlalu banyak. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah  dalam mengucapakan bahasa arab dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu: akha:kumfa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a 'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'.

            Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kita:bak sawthan" 'berhatihatilah dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun)..

            Seiring berjalannya waktu dan  seiring menyebarnya agama islam ke seoantero dunia. pasti pemeluk Islam menjadi begitu heterogen. dan Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi budaya ( Civization Akulturation ) dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an. Hal inilah yang menjadi “ Embrio “ kelahiran  Ilmu Nahwu.

Siapakah Yang Membidani Kelahiran Ilmu Nahwu ?

            Siapakah peletak batu pertama Ilmu Nahwu . dalam jhal ini, ada perbedaan dikalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13). Namun, dari perbedaanperbedaan itu pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17).

            Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu. Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab".

Kontroversi Abul Aswad Ad-Du'ali Sebagai Vioner Peletak Pertama Ilmu Nahwu

             Ibnu Salam (tanpa tahun) dalam kitabnya Thabaqa:tu Fuhu:lisy Syu'ara:" mengatakan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa:'il, maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm."

            Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup populer dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an. Seba gaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf Al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca Al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab (Umam, 1992).

            Lama kelamaan, karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam Al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan Al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik diatas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab) (Sirajuddin,1992:33).

BASHRAH SEBAGAI KOTA KELAHIRAN ILMU NAHWU

            Atas jasanya dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu I'rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun Al-Aqran (Al-Fadlali, 1986:26).

            Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiyah di kalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam bidang Ilmu Nahwu, sekalipun masih belum berbentuk buku. Di samping itu, dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu.

            Para ahli nahwu setelah generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu "Amr bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu getol dalam mengkaji dan meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu. Untuk mengumpulkan data penelitian itu mereka tidak segan-segan melanglang buana ke berbagai penjuru jazirah Arab yang bahasanya masih dianggap murni ,seperti Nejed, Hijaz, dan Tihamah. Dari daerah-daerah itu mereka pilih kabilah-kabilah yang benar-benar kuat dalam memegang kemurnian bahasa, seperti kabilah Tamim, Qais, Asad, Thayyi', dan Hudzail. Disamping itu, dalam melakukan analogi mereka tidak segan-segan merujuk pada sumber utama ilmu bahasa Arab yaitu Al-Qur'an. Mereka tidak merujuk pada Hadits Nabi dalam melakukan analogi, karena pada waktu itu hadits belum dibukukan.

            Jika demikian itu keadaan di kota Bashrah, maka tidak demikian apa yang terjadi di kota Kufah (yang pada akhirnya juga dikenal dengan aliran nahwunya). Di saat Bashrah sedang gencar-gencarnya mengkaji dan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Nahwu, sampai pertengahan akhir abad kedua Hijriah, Kufah masih berkutat pada pembacaan Al-Qur'an dan pengumandangan syair dan prosa. Dalam hal ini Ibnu Salam berkata: "Bashrah lebih dahulu menaruh perhatian terhadap kaidahkaidah bahasa Arab" (Ibnu Salam, tanpa tahun:12). Senada dengan itu, Ibnu Nadim(dalam Dlaif, 1968:20) mengatakan: "Saya lebih mengutamakan pendapat ulama Bashrah, karena dari merekalah Ilmu Nahwu mula-mula dipelajari"

            Kemajuan Bashrah dalam bidang Ilmu Nahwu itu juga tidak terlepas dari perannya dalam bidang sosial budaya. Bashrah pada saat itu merupakan pusat perdagangan negara Iraq, sehingga kota itu banyak menerima pertukaran budaya dengan negara-negara asing. Selain itu, dibandingkan dengan Kufah, Bashrah juga lebih dekat ke Jundaisabur, Persi yang saat itu merupakan pusat pengkajian budaya dan filsafat Yunani, Persi, dan Hindia. Oleh karena itu pemikiran Bashrah secara umum lebih mendalam dari pada pemikiran kufah, dan lebih siap untuk mengkaji dan mengkonstruksi berbagai macam ilmu.

TOKOH-TOKOH NAHWU BASHRAH GENERASI PERTAMA

            Sekalipun Abul Aswad Ad-Du'ali berjasa dalam memberi syakal Al- Qur'an, dia belum dapat dikatakan sebagai tokoh sejati dalam bidang Ilmu Nahwu, karena yang ia lakukan itu semata-mata usaha pengalihan kode bunyi vokal yang sudah ada ke dalam bentuk tulisan (berupa titik), dan belum sampai pada pembentukan kaidah-kaidah Ilmu Nahwu. Demikian juga, apa yang dilakukan oleh Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin 'Ashim. Mereka masih membentuk beberapa istilah dan belum sampai pada generalisasi kaidah-kaidah. Tokoh nahwu generasi pertama yang sejati menurut Dlaif (1968:22-23) adalah Ibnu Abi Ishaq, kemudian ketiga muridnya, Isa bin Umar, Abu Amr bin Al-'Ala', dan Yunus bin Hubaib (Dlaif 1968:22).

Perkembangan Ilmu Nahwu Di Indoensia

            Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak sebagai alat untuk mengekplorasi Uslub  bahasa Arab dan bukan sebagai tujuan. Karena itu, referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat “ pendobrak “ untuk mengekplorasi sumbar ajaran Islam.

             Sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis cenderung kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak ditemukan di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan tinggi Islam adalah buku-buku semacam Al Ajrumiyyah, Alfiyah Ibnu Malik, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab kurang diekplorasi lebih dalam.

PENUTUP

            Seorang Muslim seyogyanya mempelajari islam langsung dari sumber aslinya. dan tidaklah cukup mempelajri Islam dari buku-buku terjemahan . Para ulama terdahulu telah meninggalkan begitu banyak warisan berharga dalam bidang Ilmu Nahwu dan perkembangannya. Usaha yang telah dirintis oleh para ahli generasi pertama disambut dan ditindak lanjuti oleh generasai sesudahnya, sehingga kajian nahwu itu selalu berkesinambungan bak rantai yang tiada putus-putusnya. Hal itu dibuktikan oleh tumbuhnya aliranaliran besar dalam bidang Ilmu Nahwu dari masa-kemasa, seperti aliran Bashrah, aliran Kuffah, aliran Baghdad, aliran Andalus, dan aliran Mesir.

            Di samping aliran-aliran itu, sejarah juga mencatat nama-nama besar yang menjadi simbol bagi setiap aliran. Dari aliran Bashrah tercatat namanama seperti Abul Aswad, Al-Khalil, dan Sibawaih. Dari aliran Kuffah ada Al-Kisa'i, dan Tsa'lab. Sementara itu dari Baghdad nama Abu Ali Alfarisi, Ibnu Ginniy, dan Az-Zamakhsyari merupakan tokoh yang tak pernah terlupakan. Demikian juga dari aliran-aliran lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar