Oleh Misbahuddin Al-afghanie
lmu nahwu (gramatika bahasa Arab) merupakan
bagian dari uslub tata bahasa arab yang begitu menarik dan unik, maka sejak
awal perkembangannya sampai sekarang
senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis , Ilum nahwu adalah salah satu “jurus
“ untuk memahami dan membedah keagungan
dan kemukzijatan Al-Qur’an dan as-sunnah dari perfectif tata bahasa.
Tentunya mempelajri islam langsung
dari sumber aslinya seperti tafsir ulama dan syarah kitab hadits ataupun yang
lainnya pasti akan lebih nikmat dan terasa “ nilai “ keindahan dan keagungan
tata bahasa arab itu sendiri. berbeda halnya dengan mepelajari islam dari
buku-buku terjemahan. buku-buku terjemahan mejadikan nilai keindahan dan kenikmatan tata
bahasa arab menjadi hilang. tidak percaya ?? buktikan !!. belajar dulu KDNS
Pusdiklat dewan dakwah baru akan tersadar!. ^_^
Jika kita membedah historis, Hampir
semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang
mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak jarang dari
mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran mereka dalam
bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin
As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az-Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam
bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu
Nahwu juga diakui di kalangan ulama. Di Indonesia, tokoh-tokoh agama semisal Syekh
Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus, K.H. Bisri Musthafa, dan K.H
Aceng zakaria juga mempunyai
penguasaan nahwu yang mendalam dan dijadikan rujukan untuk umat islam indoensia
untuk “ berselancar “ mempelajari uslub bahasa arab. Sementara itu, tokoh-tokoh
nahwu seperti Imam Sibawaih, Al-Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, dan Imam
Sibawah lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu Nahwu.
Madhab-Madhab
Dalam Ilmu Nahwu
Tidak hanya dalam masalah furu’iyah
( fiqih ) para ulama berbeda pendapat. lahirmya imam madhab merupakan sebuah dilalah
bahwa mereka memilki pendapat yang berbeda satu sama lain. dan perbedaan pendapat ini terjadi juga dalam
ilmu nahwu. Dlaif (1968) membagi
perkembangan Ilmu Nahwu berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan
sejumlah tokoh yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara
kronologis lima aliran nahwu sebagai berikut. (1) aliran Bashrah, (2) aliran
Kufah, (3) aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5)
aliran Mesir. Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai
aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi,
kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga
mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lainya hanya
merupakan “ Inovasi “ dan “ kreasi “ yang dikembangkan dari 2 madhab sebelumnya.
Kronologis
Kelahiran Ilmu Nahwu Ke Muka Bumi
Hampir semua pakar linguistik Arab
bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu
muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul
karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor
sosial budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5).
faktor agama disini adalah usaha
untuk menjaga kemurnian agama islam, Al-Qur’an dan as-sunnah dari kesalahan
didalam membaca. yang mashur dengan istilah Lahn. lahn adalah kesalahan dalam membaca. lahn ini
sudah terjadi sejak jaman Rasulullah. tetapi prekuensinya tidak terlalu banyak.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah dalam mengucapakan bahasa arab dihadapan Nabi,
maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu: akha:kumfa innahu
qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat).
Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan
yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a
'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa
salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya
dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi
kata-kata "qanni' kita:bak sawthan" 'berhatihatilah
dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun)..
Seiring berjalannya waktu dan seiring menyebarnya agama islam ke seoantero
dunia. pasti pemeluk Islam menjadi begitu heterogen. dan Lahn itu
semakin lama semakin sering terjadi. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi budaya
( Civization Akulturation ) dan proses saling mempengaruhi antara bahasa
Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering kali
berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi
juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an. Hal inilah yang menjadi “ Embrio “
kelahiran Ilmu Nahwu.
Siapakah
Yang Membidani Kelahiran Ilmu Nahwu ?
Siapakah peletak batu pertama Ilmu
Nahwu . dalam jhal ini, ada perbedaan dikalangan para ahli. Sebagian ahli
mengatakan, peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian yang
lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan, Abdurrahman bin
Hurmus (Dlaif, 1998:13). Namun, dari perbedaanperbedaan itu pendapat yang
paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli sejarah adalah Abul Aswad.
Pendukung pendapat ini dari golongan ahli sejarah terdahulu antara lain Ibnu
Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad (wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H),
Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari
golongan ahli nahwu kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa,
dan Ali an-Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17).
Penokohan Abul Aswad ini didasarkan atas
jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya Ilmu Nahwu. Abul Aswad
Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang mendapat kepercayaan dari
Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani dan mengatasi masalah lahn yang
mulai mewabah di kalangan masyarakat awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena
ia adalah salah seorang penduduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas,
dan berkemampuan tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang termenung
memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya: "Wahai Amirul
Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab: "Saya
dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis sebuah
buku tentang dasar-dasar bahasa Arab".
Kontroversi
Abul Aswad Ad-Du'ali Sebagai Vioner Peletak Pertama Ilmu Nahwu
Ibnu Salam (tanpa tahun) dalam kitabnya Thabaqa:tu
Fuhu:lisy Syu'ara:" mengatakan bahwa Abul Aswad adalah orang pertama
yang meletakkan dasar ilmu bahasa Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn
mulai mewabah di kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa:'il,
maf'ul, harf jar, rafa', nashab, dan jazm."
Berbagai riwayat dengan berbagai
sumber banyak sekali disebutkan oleh para ahli dalam rangka mendukung Abul
Aswad seagai tokoh peletak dasar Ilmu Nahwu. Namun demikian, diantara riwayat-riwayat
itu masih banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup
populer dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa dalam
memberi syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an. Seba gaimana
diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak menggunakan
tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan dzal, antara
huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan antara
yang berbaris /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada mushaf
Al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca Al-Qur'an, terutama
umat Islam non-Arab (Umam, 1992).
Lama kelamaan, karena khawatir
kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin Abi Sufyan meminta Abul Aswad
untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat dari permintaan itu akhirnya Abul
Aswad menemukan jalan, yaitu dengan memberi tanda baca dalam Al-Qur'an. Dengan
tinta yang warnanya berlainan dengan tulisan Al-Qur'an. Tanda baca itu adalah
titik diatas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan
titik di sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu
berupa titik-titik, maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik
penanda i'rab) (Sirajuddin,1992:33).
BASHRAH
SEBAGAI KOTA KELAHIRAN ILMU NAHWU
Atas jasanya dalam memberi tanda
baca mushaf Al-Qur'an itu Abul Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar
ilmu I'rab, dan setelah itu banyak orang yang datang kepadanya untuk
belajar ilmu qira'ah dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia melaksanakan
pengajaran itu di masjid Jami' Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah
dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan
kemudian menjadi generasi penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah
dirintisnya, diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan
panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin
Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai seorang murid yang
banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun Al-Aqran
(Al-Fadlali, 1986:26).
Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat
dicapai pada masa Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1)
pembakuan sebagian istilah nahwu, seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan
i'rab, (2) perluasan beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya
pendekatan nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiyah di
kalangan para ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam
bidang Ilmu Nahwu, sekalipun masih belum berbentuk buku. Di samping itu,
dikenalnya
kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota ini selalu menjadi
pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu.
Para ahli nahwu setelah generasi
Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi Ishaq (wafat 117 H) dan Abu "Amr bin
Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu getol dalam mengkaji dan meneliti berbagai
masalah yang berkaitan dengan nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan
metode induksi dan deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu. Untuk
mengumpulkan data penelitian itu mereka tidak segan-segan melanglang buana ke berbagai
penjuru jazirah Arab yang bahasanya masih dianggap murni ,seperti Nejed, Hijaz,
dan Tihamah. Dari daerah-daerah itu mereka pilih kabilah-kabilah yang
benar-benar kuat dalam memegang kemurnian bahasa, seperti kabilah Tamim, Qais,
Asad, Thayyi', dan Hudzail. Disamping itu, dalam melakukan analogi mereka tidak
segan-segan merujuk pada sumber utama ilmu bahasa Arab yaitu Al-Qur'an. Mereka
tidak merujuk pada Hadits Nabi dalam melakukan analogi, karena pada waktu itu
hadits belum dibukukan.
Jika demikian itu keadaan di kota
Bashrah, maka tidak demikian apa yang terjadi di kota Kufah (yang pada akhirnya
juga dikenal dengan aliran nahwunya). Di saat Bashrah sedang gencar-gencarnya
mengkaji dan membahas berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Nahwu, sampai
pertengahan akhir abad kedua Hijriah, Kufah masih berkutat pada pembacaan Al-Qur'an
dan pengumandangan syair dan prosa. Dalam hal ini Ibnu Salam berkata:
"Bashrah lebih dahulu menaruh perhatian terhadap kaidahkaidah bahasa Arab"
(Ibnu Salam, tanpa tahun:12). Senada dengan itu, Ibnu Nadim(dalam Dlaif,
1968:20) mengatakan: "Saya lebih mengutamakan pendapat ulama Bashrah,
karena dari merekalah Ilmu Nahwu mula-mula dipelajari"
Kemajuan Bashrah dalam bidang Ilmu
Nahwu itu juga tidak terlepas dari perannya dalam bidang sosial budaya. Bashrah
pada saat itu merupakan pusat perdagangan negara Iraq, sehingga kota itu banyak
menerima pertukaran budaya dengan negara-negara asing. Selain itu, dibandingkan
dengan Kufah, Bashrah juga lebih dekat ke Jundaisabur, Persi yang saat itu
merupakan pusat pengkajian budaya dan filsafat Yunani, Persi, dan Hindia. Oleh
karena itu pemikiran Bashrah secara umum lebih mendalam dari pada pemikiran
kufah, dan lebih siap untuk mengkaji dan mengkonstruksi berbagai macam ilmu.
TOKOH-TOKOH
NAHWU BASHRAH GENERASI PERTAMA
Sekalipun Abul Aswad Ad-Du'ali
berjasa dalam memberi syakal Al- Qur'an, dia belum dapat dikatakan
sebagai tokoh sejati dalam bidang Ilmu Nahwu, karena yang ia lakukan itu
semata-mata usaha pengalihan kode bunyi vokal yang sudah ada ke dalam bentuk
tulisan (berupa titik), dan belum sampai pada pembentukan kaidah-kaidah Ilmu
Nahwu. Demikian juga, apa yang dilakukan oleh Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin
'Ashim. Mereka masih membentuk beberapa istilah dan belum sampai pada
generalisasi kaidah-kaidah. Tokoh nahwu generasi pertama yang sejati menurut Dlaif
(1968:22-23) adalah Ibnu Abi Ishaq, kemudian ketiga muridnya, Isa bin Umar, Abu
Amr bin Al-'Ala', dan Yunus bin Hubaib (Dlaif 1968:22).
Perkembangan
Ilmu Nahwu Di Indoensia
Di Indonesia, sejalan dengan
perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu juga banyak dipelajari. Akan tetapi,
pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak sebagai alat untuk mengekplorasi Uslub bahasa Arab dan bukan sebagai tujuan. Karena
itu, referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis
dan textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai
alat “ pendobrak “ untuk mengekplorasi sumbar ajaran Islam.
Sementara buku-buku yang bersifat historis
teoretis cenderung kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika referensi nahwu yang banyak ditemukan di pesantren-pesantren maupun di
kalangan perguruan tinggi Islam adalah buku-buku semacam Al Ajrumiyyah,
Alfiyah Ibnu Malik, dan Al-'Umrithiy. Sementara,
buku-buku yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil
I'rab karya Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi,
dan Mizanudz Dzahab kurang diekplorasi lebih dalam.
PENUTUP
Seorang Muslim seyogyanya
mempelajari islam langsung dari sumber aslinya. dan tidaklah cukup mempelajri
Islam dari buku-buku terjemahan . Para ulama terdahulu telah meninggalkan
begitu banyak warisan berharga dalam bidang Ilmu Nahwu dan perkembangannya.
Usaha yang telah dirintis oleh para ahli generasi pertama disambut dan ditindak
lanjuti oleh generasai sesudahnya, sehingga kajian nahwu itu selalu
berkesinambungan bak rantai yang tiada putus-putusnya. Hal itu dibuktikan oleh
tumbuhnya aliranaliran besar dalam bidang Ilmu Nahwu dari masa-kemasa, seperti
aliran Bashrah, aliran Kuffah, aliran Baghdad, aliran Andalus, dan aliran
Mesir.
Di samping aliran-aliran itu,
sejarah juga mencatat nama-nama besar yang menjadi simbol bagi setiap aliran.
Dari aliran Bashrah tercatat namanama seperti Abul Aswad, Al-Khalil, dan
Sibawaih. Dari aliran Kuffah ada Al-Kisa'i, dan Tsa'lab. Sementara itu dari
Baghdad nama Abu Ali Alfarisi, Ibnu Ginniy, dan Az-Zamakhsyari
merupakan tokoh yang tak pernah terlupakan. Demikian juga dari aliran-aliran lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar